Kata determinasi berasal dari bahasa inggris “determination“. Kamus Oxford medefinisikan kata ini sebagai “Quality that makes you continue trying to do something even when this difficult to do“.
Sebuah kualitas yang membuat seseorang secara terus menerus mencoba
melakukan sesuatu bahkan ketika hal tersebut adalah hal yang sulit. Dari
pengertian tersebut dapat dilihat kunci dari determinasi adalah
“continue trying” atau terus mencoba. dalam hal ilni konsep ini telah
mematahkan yang namanya putus asa. seseorang yang memiliki determinasi
tinggi tidak akan mudah putus asa.
Determinasi
teknologi, keberadaan media komunikasi massa dilihat sebagai fenomena
yang dibentuk oleh perkembangan masyarakat. Teknologi mengubah
konfigurasi masyarakat, mulai dari masyarakat agraris, industrial sampai
ke masyarakat informasi. Dalam perubahan tersebut teknologi komunikasi
berkembang sebagai upaya manusia untuk mengisi pola-pola hubungan dalam
setiap konfigurasi baru. Perkembangan teknologi yang mempengaruhi
kegiatan komunikasi, pertaliannya dapat dilihat pada dua tingkat,
pertama secara struktural, yaitu faktor teknologi yang mengubah struktur
masyarakat, untuk kemudian membawa implikasi dalam perubahan struktur
moda komunikasi. Kedua, perubahan moda komunikasi secara kultural
membawa implikasi pula pada perubahan cara-cara pemanfaatan informasi
dalam masyarakat. Dengan begitu determinasi teknologi dalam konteks
komunikasi dapat dilihat dalam urutan berpikir: dari perubahan struktur
masyarakat, struktur moda komunikasi dalam masyarakat, dan cara
pemanfaatan informasi.
Selain
itu ada pula pandangan dengan urutan sebaliknya: dari pemanfaatan
informasi, membawa perubahan masyarakat, dan untuk kemudian mempengaruhi
perkembangan teknologi. Pandangan ini menempatkan media massa dapat
membentuk masyarakat melalui realitas psikhis dan realitas empiris
sehingga terdapat daya kreatif person maupun kolektifitas. Dengan
kapabilitas dan daya kreatif secara personal atau kolektif dapat
melahirkan (invention) dan memperkembangkan (innovation) teknologi dalam masyarakat.
· Teori Determinisme
Seorang
tokoh media massa yaitu Marshall McLuhan berpendapat bahwa Media adalah
era massa. Maksudnya adalah bahwa saat ini kita hidup di era yang unik
dalam sejarah peradaban manusia, yaitu era media massa. McLuhan membagi
perkembangan teknologi dalam evolusi teknologi yang dicocokkan dengan
sejarah perkembangan manusia.
- The Tribal Age. Menurut McLuhan, pada era purba atau era suku zaman dahulu, manusia hanya mengandalkan indera pendengaran dalam berkomunikasi. Komunikasi pada era itu hanya mendasarkan diri pada narasi, cerita, dongeng tuturan, dan sejenisnya. Jadi, telinga adalah ³raja´ ketika itu, ³hearing is believing´, dan kemampuan visual manusia belum banyak diandalkan dalam komunikasi. Era primitif ini kemudian tergusur dengan ditemukannya alfabet atau huruf.
- The Age of Literacy. Semenjak ditemukannya alfabet atau huruf, maka cara manusia berkomunikasi banyak berubah. Indera penglihatan kemudian menjadi dominan di era ini, mengalahkan indera pendengaran. Manusia berkomunikasi tidak lagi mengandalkan tuturan, tapi lebih kepada tulisan.
- The Print Age. Sejak ditemukannya mesin cetak menjadikan alfabet semakin menyebarluas ke penjuru dunia. Kekuatan kata-kata melalui mesin cetak tersebut semakin merajalela. Kehadiran mesin cetak, dan kemudian media cetak, menjadikan manusia lebih bebas lagi untuk berkomunikasi.
- The Electronic Age. Era ini juga menandai ditemukannya berbagai macam alat atau teknologi komunikasi. Telegram, telpon, radio, film, televisi, VCR, fax, komputer, dan internet. Manusia kemudian menjadi hidup di dalam apa yang disebut sebagai
global
village´. Media massa pada era ini mampu membawa manusia mampu untuk
bersentuhan dengan manusia yang lainnya, kapan saja, di mana saja,
seketika itu juga.
(Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003, page 341²354 )
Pada
dasarnya determinisme teknologi yang diungkapkan oleh McLuhan adalah
penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya
yang mengubah kebudayaan manusia. Bisa dilihat bahwa setiap gerak dari
manusia akan selau bersinggunagn dengan apa yang dinamakan media massa,
maka evolusi media dan perubahan kebudayaan tidak akan bisa dibendung.
Utopia Teknologi
Sains dan teknologi adalah sebuah bentuk ‘pembentangan kemungkinan dunia’ (possible world) atau sebuah ‘perluasan medan pengalaman’ (field of experience). Melalui sains dan teknologi ‘dibentangkan’ sebuah dunia yang belum pernah ada, belum terbayangkan atau belum terimajinasikan sebelumnya. Akan tetapi, pembentangan sains dan teknologi adalah pembentangan penuh ambiguitas. Di satu pihak, sains dan teknologi membentangkan semacam horizon pengharapan (horizon of expectation): pengembaraan tak bertepi, pengetahuan tanpa batas, pengalaman tanpa pembatas. Di pihak lain, ia menciptakan pula ‘ketakterlukisan yang enigmatik’, ‘kecemasan yang tanpa akhir’ (anxiety), ‘rasa ketakamanan ontologis’ (ontological insecurity), ‘keterserapan dan kecanduan’, serta ‘ketakpastian identitas dan subyektivitas’.
Pertama, ‘utopianisme’, sebagai sebuah kecenderungan pemikiran tentang sebuah ‘masyarakat tanpa cela’ (perfect society) di masa depan dan peran sentral sains dan teknologi dalam membangunnya. ‘Utopia’ dalam bahasa Yunani berarti ‘tak-bertempat’. Thomas More menggunakan istilah ‘utopia’ untuk menggambarkan sebuah masyarakat imajiner yang berada di sebuah tempat yang jauh, sebagai model kehidupan masyarakat masa depan yang demokratis dan tanpa kelas, dengan orang-orang yang bijak. ‘Utopia’ menjadi sebuah istilah generik untuk melukiskan segala bentuk cerita atau narasi yang menceritakan sebuah komunitas di masa depan di mana segala sesuatu berlangsung indah, menyenangkan dan tanpa cela. [i] Marshal McLuhan, misalnya, secara optimis melihat teknologi sebagai sebuah utopia ‘perpanjangan manusia’ di masa depan. [ii] Pandangan optimistik semacam ini diperlihatkan pula oleh berbagai pemikir, seperti Francis Bacon, New Atlantis (1624), Herman Kahn, The Next 200 Years (1976)
Para pemikir cyberspace, seperti John Perry Barlow, Jaron Lanier, Mark Pesce dan Timothy Leary, mengembangkan pandangan utopianisme yang lebih ekstrim, yaitu sebuah keyakinan, bahwa segala keterbatasan, hambatan dan kekurangan manusia (fisik, psikis, spiritual) dapat diatasi melalui kekuatan sains dan teknologi, khususnya teknologi realitas virtual (virtual reality), yang dapat menawarkan sebuah ‘dunia baru’, yang sepenuhnya dibangun secara artifisial (artificial reality)-inilah pandangan tekno-romantisisme (techno-romantism). Kemajuan sains dan teknologi mutakhir: teknologi informasi, rekayasa molekul, bioteknologi, nanoteknologi, dan pemrograman kuantum-digital dapat menciptakan di masa depan ‘manusia baru’ dan ‘realitas baru’, yang dibentuk oleh tubuh baru yang bersifat artifisial (artifisial body), yaitu tubuh-tubuh virtual.
Γ Kebudayaan dan ‘Takdir’ Manusia
Kecenderungan perkembangan kebudayaan masa depan akan masih ditentukan oleh ‘determinasi teknologi’ (technological determinism),
bila tidak ada perubahan radikal dalam kebijakan ekonomi, sains dan
teknologi sekarang ini. Meskipun teknologi dibangun di atas sebuah
‘fondasi budaya’ atau ‘pandangan dunia’, akan tetapi, produk sains dan
teknologi itu dapat secara fundamental berbalik merubah fondasi budaya,
narasi kehidupan dan pandangan dunia itu sendiri. ‘Narasi teknologi’(technological narrative),
yaitu sebuah ‘cerita’, ‘ideal-ideal’ dan ‘angan-angan dunia’ yang
dibangun melalui kekuatan sains dan teknologi, mampu merubah nilai,
norma, prinsip etika, filsafat, dan mentalitas manusianya.
Dalam skema ‘determinasi teknologi’ itulah kita layak berbicara tentang ‘takdir manusia’ (human fate) di dalam kebudayaan masa depan, yang sangat ditentukan oleh arah perkembangan teknologi sendiri. Teknologi itu ‘merayu’ (seduce) atau ‘memanggil’ (intepellate)
manusia untuk masuk ke dalam ‘alam’nya, dengan meyakinkan manusia
tentang ‘kebenaran’nya, yang menjadikan orang ‘terbenam’ di dalam lautan
kesenangannya, sehingga terjebak dalam ‘kecanduan’ dan tak mau
melepaskan diri darinya. Dan akhirnya teknologi menjadikan orang
memroduksi keinginan dan kesenangan baru, yang tidak diperoleh
sebelumnya. Inilah ‘takdir’ manusia di hadapan teknologi.
Meskipun ada pandangan ‘optimistik-utopia’ tentang masa depan manusia,
ada pula pandangan ‘pesimistik-dystopia’ tentang ‘takdir manusia’ dalam
hegemoni teknologi. Bila pemikir optimistik melihat teknologi masa depan
sebagai bentuk ‘pembebasan’ manusia dari segala bentuk keterbatasan,
kekurangan, dan hambatan, sehingga mampu menjadi ‘Manusia Super’; para
pemikir pesimistik melihat perkembangan teknologi masa depan akan
semakin menghancurkan kebudayaan, yang di dalamnya di mana manusia
justeru kehilangan sifat ‘kemanusiaan’nya, di bawah kuasa teknologi.
Teknologi,
berdasarkan pandangan Heidegger, ‘membingkai’ manusia dalam satu model
‘eksistensi’ dan terperangkap di dalamnya. Orang tidak bisa melepaskan
diri dari ‘bingkai teknologis’: televisi, handphone, komputer, mobil,
kulkas, mesin cuci, kompor gas. Teknologi membingkai sebuah bentuk
eksistensi, dan tidak memberi tempat bagi bentuk eksistensi yang lain.
Determinasi teknologi atas kebudayaan merupakan wujud ‘nihilisme’, yaitu
penyerahan bulat-bulat eksistensi ke dalam kekuasaan teknologi, sebagai
pelayan setianya: pelayan setia abad informasi, televisi, telepon
genggam, cyberspace, perang, mobil, mesin cuci, AC. Ketimbang
menjadi ‘tuan’ dari teknologi, kini manusia menjadi ‘bahan baku’ dari
produknya, yaitu pada eksistensi manusia sebagai makhluk konsumer (homo consumatoris).
Teknologi meredefinisi pemahaman kita tentang ruang dan waktu.
Teknologi itu adalah sebuah cara ‘mendekatkan’, tetapi sekaligus
‘menjauhkan’; sebuah cara menjadikan ‘akrab’, tetapi sekaligus ‘asing’;
sebuah pembukaan dunia kemungkinan, tetapi sekaligus penyelubungannya;
sebuah bentuk pendefinisi eksitensi, tetapi sekaligus sebuah ‘pelarian’;
sebuah cara penciptaan rasa perlindungan dan keamanan ontologis, tetapi
sekaligus ketak-amanan ontologis; sebuah cara pembebasan,
tetapi sekaligus pembelengguan; sebuah gerakan maju ke depan secara
eksponensial, tetapi sekaligus gerakan mundur ke belakang secara
repetitif; sebuah pembukaan horizon pengharapan, tetapi sekaligus
‘horizon kecemasan’ (polusi, radiasi, ekses, virus) .
Di dalam bingkai kuasa teknologi, manusia sebagai subyek tak lebih dari ‘efek kontingensi’ (contingen effects)
teknologi, bukan penentunya. Subyek memang berjuang dalam pencarian
eksistensi melalui teknologi, tetapi hanya menemukan sifat ‘kesekejapan’
(ephemerality). Foucault melihat, bahwa teknologi sebagai
wacana, seperti televisi atau internet, adalah dunia yang dapat dimasuki
oleh manusia, yang di dalamnya telah ada relasi kekuasaan tertentu;
yang di dalamnya bahasa mereproduksi dirinya sendiri melalui ‘kedaulatan
wacana’ (sovereignty of discourse), yang di dalamnya subyek
manusia tidak mempunyai kekuasaan terhadap dunia wacana itu. Manusia,
di sini bukan pencipta wacana teknologi, tetapi sebagai ‘efek wacana’
semata, yang terserap ke dalam discourse yang telah tersedia
baginya. Manusia, misalnya, tidak serta merta bisa merubah ‘struktur
wacana internet’. Adalah wacana yang dibangun teknologi itu (internet,
televisi, video, handpone) yang mempunyai kekuatan deterministik
terhadap manusia, bukan sebaliknya. ‘Manusia’ mengalami takdir “kematian
subyektivitas” di dalam formasi wacana bentukan teknologi, meskipun di
permukaan ia tampak sebagai ‘manusia bebas’ .
Di dalam kebudayaan yang dideterminasi teknologi, teknologi menjadi sebuah bentuk ‘seduksi’ (seduction),
yaitu skema bujuk rayu dalam dunia artifisialitas bentukannya, yang di
dalamnya manusia menjadi ‘sang tergoda’. Konsep McLuhan ‘media adalah
pesan’ (medium is the message), menjelaskan teknologi sebagai
sebuah ‘pesan’. Pesan teknologi adalah segala perubahan struktur,
kebiasaan, cara, dan relasi pada manusia akibat penggunaannya. Manusia
terserap ke dalam logika teknologi, ke dalam irama pergantian bentuk,
gaya dan citranya. Di hadapan ‘kuasa teknologi’, manusia menjadi subyek
yang ‘rapuh’, ‘rentan’ dan ‘tak berdaya’ atas segala rayuannya. Manusia
sebagai subyek harus menyesuaikan dirinya dengan obyek teknologi, bukan
teknologi yang menyesuaikan diri terhadapnya. Yang kemudian tercipta
adalah sebuah paradoks, di mana kedaulatan subyek tidak dapat lagi
dipertahankan di hadapan ‘kedaulatan teknologi’. Subyek manusia lenyap
di dalam horizon teknologi.
http://edukasi.kompasiana.com/2012/11/06/tugas-2-mk-perkembangan-teknologi-komunikasi-506320.html
Pada tataran psikis, di dalam kebudayaan yang dideterminasi teknologi,
manusia menjadi subyek yang mengidentifikasikan dirinya ke dalam
‘tataran simbolik’ (symbolic order) bentukan teknologi, tanpa kuasa merubahnya. Subyek sangat menggantungkan definisi tentang dirinya (self) dan eksistensinya pada keberadaan sang lain (the other) di
dalam sebuah relasi psiko-sosial yang kompleks yang diperantarai oleh
teknologi, yang melaluinya ia mengidentifikasi dirinya, melalui sebuah
mekanisme efek cermin (mirror effect). Aneka teknologi (televisi, video, filem, internet) menjadi medium bagi ‘identifikasi palsu’ ini, yang disebut ‘suture’.
Teknologi menjadi sebuah mekanisme, yang melaluinya subyek dan
subyektivitas dibangun, melalui relasi kepenontonan. Teknologi menjadi
tempat bagi proses konstruksi subyektivitas palsu, yang mengarahkan
subyek pada sebuah konsep diri, yang sesungguhnya adalah diri ‘sang
lain’, akan tetapi diterima secara salah sebagai sebuah kebenaran
tentang diri (misrecognition).
0 komentar:
Posting Komentar